Jumlahnya emang nggak banyak. Tapi kalo udah nongol di jalanan,
setiap mata terpancing untuk melirik gaya rambutnya yang Mohawk ala suku
Indian dengan warna-warna terang dan mencolok. Belum lagi atribut
rantai yang tergantung di saku celana, sepatu boot Dr. Marteen, kaos
hitam, jaket kulit penuh badge atau peniti, serta ‘spikes’ (gelang
berbahan kulit dan besi seperti paku yang terdapat di sekelilingnya)
yang menghiasi pergelangan tangannya menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari busana mereka. Begitu juga dengan celana jeans super ketat hingga
mata kaki yang dipadukan dengan baju lusuh, makin menguatkan kesan anti
kemapanan dan antisosial pada mereka. Masyarakat mengenal mereka sebagai
anak punk.
Sayangnya, pandangan negatif masih menyertai setiap kehadiran anak
punk. Kalo ibu saya ditanya komentar tentang dandanan anak punk,
jawabnya “idih.. nggak ada pantes-pantesnya”. Tanpa bermaksud
menyudutkan, tampilan anak-anak punk yang cenderung ‘menyeramkan’
seringkali dikaitkan dengan perilaku anarkis, brutal, vandal, bikin
onar, dan semau gue. Padahal boleh jadi, itu cuma perilaku segelintir
remaja yang berpenampilan nge-punk. Daripada berprasangka, mending kita
coba kenal kaum punk lebih dekat. Sehingga penilaian dan sikap kita
lebih objektif. Otreh?
Sekedar musik dan Tam-‘Punk’?
Hadirnya generasi punk nggak bisa dilepaskan dari hingar-bingar dunia
musik. Konon kisah lahirnya kaum punk pun diawali dari musik. Pada 1971,
Lester Bangs, wartawan majalah semi-underground Amerika, Creem,
menggunakan istilah punk untuk mendeskripsikan sebuah aliran musik rock
yang semrawut, asal bunyi, namun bersemangat tinggi.
Musisi punk tidak memainkan nada-nada rock teknik tinggi atau lagu
cinta yang menyayat hati. Sebaliknya, lagu-lagu punk lebih mirip
teriakan protes demonstran terhadap kejamnya dunia, menceritakan rasa
frustrasi, kemarahan, dan kejenuhan berkompromi dengan hukum jalanan,
pendidikan rendah, kerja kasar, pengangguran serta represi aparat,
termasuk kekecewaan musisi rock kelas bawah terhadap industri musik yang
didominasi oleh musisi rock mapan, seperti The Beatles, Rolling Stone,
dan Elvis Presley. Akibatnya punk dicap sebagai musik rock n’ roll
aliran kiri, sehingga sering tidak mendapat kesempatan untuk tampil di
acara televisi, apalagi rekaman. Boro-boro!
Tak hanya dalam lirik lagu, teriakan kekecewaan kaum punk juga
ditunjukkan dalam berbusana. Seperti dituturkan Putu Aliki, designer
asal Bali, “Sudah nggak zamannya lagi, kalo remaja -cewek atau cowok-
tidak diberi kebebasan dalam memilih alternatif-alternatif berbusana
yang ada di hadapannya sekarang ini. ‘Kalau memang sreg dan PeDe, kenapa
tidak boleh memakai sesuatu yang aneh’. Misal, memakai paku-paku,
gelang baja, peniti yang penuh menghias lengan baju, rok pendek,
transparan, atau seksi bagi cewek, atau baju dan celana ketat bagi
cowok. Biasanya kan selama ini, kalau ada yang berani berpakaian begitu
sudah dicap yang nggak-nggak oleh orang lain. Nah itulah yang ingin
didobrak.”(Bali Post, 18/05/03)
Tapi menurut Awal Fahma, redaktur F-Magazine Bogor yang kena todong
STUDIA: “Kalo menurut gue anak punk Bogor itu mayoritas cuma sekedar
style aja, kalo ditanya makna punk yang sesungguhnya belum tentu pada
ngerti…buat mereka punk itu cuma dandanan, attitude sama musik keras.
Sekarang punk udah keilangan identitasnya … ini gara gara para prudusen
ngeliat style punk bisa dijual mulai dari gaya rambut sampai pakaian
….”.
Punk adalah idealisme
Dalam “Philosophy of Punk”, Craig O’Hara (1999) menyebut tiga definisi
punk. Pertama, punk sebagai tren remaja dalam fashion dan musik. Kedua,
punk sebagai keberanian memberontak dan melakukan perubahan. Terakhir,
punk sebagai bentuk perlawanan yang “hebat” karena menciptakan musik,
gaya hidup, komunitas, dan kebudayaan sendiri. Definisi pertama adalah
definisi yang paling umum digambarkan oleh media. Tapi justru yang
paling tidak akurat karena cuma menggambarkan kesannya saja.
Menurut Indie, kru MQ-FM Solo, “Sebenarnya mereka adalah orang-orang
yang keresahan untuk menemukan solusi “menghancurkan tiran”. Lalu
keresahan itu mereka wujudkan dengan pemberontakan dengan berbagai
wujudnya baik lewat jalur musik, propaganda, bikin produk sendiri, dll.
Pokoknya anti segala sesuatu yang bersifat status quo. Karena menurut
mereka, yang namanya status quo itu bikin beku. At least, mereka nggak
terbawa mainstream. Mampu menciptakan arus sendiri.,” tuturnya Indie
penuh semangat ngejelasin ke STUDIA.
Di setiap tempat, sepak terjang kaum punk mampu menjelma menjadi
sebuah gaya hidup yang konsisten melawan pemaksaan ide maupun budaya
oleh para kapitalis maupun negara. Yup, mereka nggak setuju banget ama
yang namanya otoritas. Sehingga mereka hidup berdikari alias berdiri di
atas kaki sendiri. CD dan kaset tidak lagi menjadi satu-satunya barang
dagangan. Mereka juga memproduksi dan mendistribusikan t-shirt,
aksesori, buku dan majalah, poster, serta jasa tindik (piercing) dan
tato. Seluruh produk dijual terbatas dan dengan harga yang amat
terjangkau. Dalam kerangka filosofi punk, distro adalah implementasi
perlawanan terhadap perilaku konsumtif anak muda pemuja Levi’s, Adidas,
Nike, Calvin Klein, dan barang bermerek luar negeri lainnya.
Dalam skala negara, punk mengusung ide anarkisme. Eit, jangan salah
tafsir ya. Menurut para pencetusnya, yaitu William Godwin, Pierre-Joseph
Proudhon, dan Mikhail A Bakunin, anarkisme adalah sebuah ideologi yang
menghendaki terbentuknya masyarakat tanpa negara. Di sini anarkisme
menghendaki tatanan sosial yang tidak seorangpun bisa menindas atau
mengekspolitasi orang lain; sebuah tatanan agar setiap orang mempunyai
kesempatan yang setara untuk mencapai perkembangan material dan moralnya
secara maksimal. Sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri
tanpa campur tangan negara.
Nampaknya, idealisme kaum punk dalam konteks negara kudu siap
ngadepin kenyataan sosial. Seperti yang pernah dikatakan Lenin,
anarkisme adalah paham yang naif milik para pemimpi dan orang-orang
putus asa. Mereka menyadari ideologi ini sulit dikembangkan karena
masyarakat masih membutuhkan negara untuk mengatur mereka. Benar,
tentunya negara yang menerapkan Islam sebagai ideologi di bawah naungan
Khilafah Islamiyah.
Semua ada batasnya, Bro!
Ngomongin tentang kebebasan, emang indah. Apalagi kalo bisa bebas
ngapain aja, nggak ada yang larang atau maksain aturan yang mesti
dipatuhi. Sayangnya, kebebasan model gini cuma ada di negeri khayalan.
Ya, sengotot apapun kita menuntut kebebasan, pada akhirnya kita bakal
ngebentur kenyataan kalo semua ada batasnya.
Misal, kita emang bisa bebas makan setiap menu favorit, sanggup
begadang semalaman, atau kuat nenggak berliter-liter aneka cairan
penghilang dahaga. Tapi kenyataannya, perut dan mata kita ada batasnya
dan perlu istirahat. Kalo diporsir, perut kita bisa mules, beser, dan
mata berkunang-kunang. Tubuh kita yang menentukan kapan saatnya lapar,
haus, ngantuk, atau buang hajat, bukan kita. Ini contoh kecil, Bro!
Begitu juga dalam hidup. Kita boleh acungi jempol buat temen-temen
yang nyadar dan pengen merdeka dari para idola yang mengendalikan
perilaku kita, para kapitalis yang membobol kocek kita, atau kebijakan
negara yang bikin sengsara. Seperti idealisme temen-temen punk. Tapi
kalo merdeka dari aturan agama terutama Islam, eit… entar dulu.
Kita memang punya pilihan untuk nggak shalat, ogah nahan lapar-haus
puasa Ramadhan, cuek bebek dengan dakwah, berlomba-lomba mengumbar
aurat, atau menjadi pemuja hawa nafsu. Tapi itu bukan pilihan yang baik
mengingat hidup kita juga ada batasnya. Kesempatan kita untuk bertobat
juga ada batasnya. Percaya atau nggak, akan ada kehidupan lain di
akhirat setelah kita meninggal dunia. Tempat kita
mempertanggung-jawabkan setiap perbuatan kita selama di dunia. Ini
berlaku untuk semua: muslim or non muslim. Tentu, termasuk di antara
yang beriman dan kafir itu ada yang memilih punker, maupun non-punker
sebagai gaya hidupnya.
Sebagai seorang muslim, ketaatan terhadap aturan hidup Islam bukan
rantai besi yang menggembok hidup kita, tapi justru yang membebaskan
kita dari perbudakan hawa nafsu dan materi. Ketaatan ini yang akan
menyelamatkan kita dunia-akhirat. Dan sewajarnya ketaatan ini juga yang
membatasi kebebasan kita dalam berbuat atau berpendapat. Nggak asal
dandan atau nggak asal berjuang.
Jadilah manusia paling cerdas
Sobat, sebebas-bebasnya kita, pastinya nggak bisa nentuin kapan jadwal
malaikat Ijrail ‘ngecengin’ kita. Meski kita tinggal di bunker bawah
tanah dengan ketebalan dinding beton satu meter atau dikawal bodyguard
from Bojong, eh, Beijing sekaliber Jet Lee, nggak akan bisa menghalangi
ajal yang menjemput kita. Pertanyaannya, siapkah kita mati besok?
Bagi sebagian orang, pertanyaan ini lebih sulit dijawab dibanding
soal ujian atau saat sidang skripsi yang tanpa persiapan. Nggak bisa
jawab soal ujian atau saat sidang, paling nggak lulus, down sebentar,
terus ngulang di kesempatan berikutnya. Tapi nggak bisa jawab soal
kesiapan mati esok pagi, menunjukkan ketakutan kita meninggalkan
kehidupan dunia ini. Persis konsep eskapisme yang berkembang di
masyarakat Barat. Mereka berusaha lari dari kenyataan hidup (tentang
kematian yang pasti) dengan menenggelamkan diri dalam gaya hidup
hedonis. Bagaimana dengan kita?
Sebagai seorang muslim, ngomongin soal kematian berarti menyadarkan
kita akan kehidupan dunia yang hanya sementara dan bisa melalaikan kalo
kita teledor. Allah Swt. berfirman:
????????? ???????? ?????????? ?????????? ?????? ????????
“Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia Ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan” (QS al-Hadîd [57]: 20)
Biar kita nggak terjebak dalam permainan dunia, apalagi sampai jadi
penganut eskapisme, jadilah manusia cerdas seperti kata Rasulullah saw.
Ibnu Umar meriwayatkan: “Kami bersepuluh datang kepada Nabi saw, ketika
seorang Anshar berdiri dan bertanya: ‘Wahai Nabi Allah, siapakah manusia
yang paling cerdas dan paling mulia?’ Maka Rasulullah menjawab: ‘Mereka
yang paling banyak mengingat mati dan paling banyak mempersiapkan
kematian. Merekalah orang yang paling cerdas. Mereka akan pergi dengan
mendapatkan kehormatan dunia dan kemuliaan akhirat.” (HR Ibnu Majah)
Oke, daripada ikut-ikutan tren tapi merusak masa depan kita di
akhirat, pasti lebih untung menabung amal baik dalam menyelamatkan diri
dan manusia lainnya dengan ngaji dan dakwah. Mumpung masih di bulan
penuh rahmat dan ampunan, bulan penuh bonus pahala berlimpah, mari kita
sama-sama penuhi keseharian kita dengan ibadah sunnah (selain yang
wajib), tilawah al-Quran, aktif di forum pengajian, serta membasahli
lisan kita dengan aktivitas dakwah amar makruh nahi munkar. Ini baru
anak ‘punk’-ajian (baca: pengajian) yang cerdas dan beramal shaleh. Yuk!
sumber : www.gaulislam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tulis Pesan yang ingin kamu sampaikan disini